25 Oktober 2010

Air Mata ...

Lewat air matamu, kau perkenalkan aku dengan sunyi, kau papah aku di jalan yang tak bertepi. Kemudian kau bawa aku terbang, terbang melintasi tembok-tembok yang memisahkan antara aku dan kamu, bulan dan bintang, langit dan bumi. Ya, aku rindu itu.

 

Hingga sampai saat ini, Di sini, di sampingmu, aku akan terus menunggu air matamu hingga terjatuh, membasahi rambutku, rambut kita yang mulai memutih.

 

Tataplah mataku lekat-lekat. Lalu, dekaplah bola mataku, lumat dan lumatlah, supaya matamu benar-benar basah.

 

Percayalah, aku akan menemanimu selamanya, selagi engkau setia pada sunyi, pada sesuatu yang membuat manusia meninggalkanmu. Keluarkanlah, keluarkanlah air matamu sayang. Aku ingin mengunyah dan menelannya walau pahit terasa, aku suka.

 

Percayalah, aku suka pahit. Aku suka pada sesuatu yang membuat manusia takut, hingga manusia meninggalkanku. Selamanya, aku bersamamu. Karena aku adalah kamu. Yakinlah itu, Sayang.

 

Kenapa kau tengadahkan wajahmu yang pucat ke langit? Apa yang membuatmu mematung seperti itu? Tanpa suara.

 

“Kau ingin menangis kan!? Berikanlah satu tetes saja padaku sayang. Menangislah, menangislah Sayang. Mata nanar ini letih menunggu embun di matamu.”

 

Ya, aku takkan menghalangimu langkahmu lagi. Langkahkanlah kakimu menuju hamparan batu yang tak jauh di hadapanmu, tempat biasa kau rebahkan tubuhmu di saat-saat beribu tanya tak ada jawab di hatimu. Dan biarkan angin kering itu membelai bening kulit tubuhmu.

 

Dan lihatlah senja yang disepu merah tembaga, ia semaskin tua, memanggil-manggil namamu, nama kita.

 

Sedang jauh di sana, di antara tebing-tebing yang menjulang, barisan burung-burung menyusuri aliran sungai yang mengering, terbang menuju sarang.

 

Sementara aku dan kamu, masih bercengkrama dalam kebisuan. Kebisuan yang entah sampai kapan kau akhiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar