21 April 2009

Kisah Sebuah Pohon Apel

Bertahun-tahun yang lalu, tumbuhlah sebuah pohon apel yang besar. Setiap hari seorang laki-laki datang dan bermain-main dengan pohon apel tersebut. Ia memanjatnya, memakan buahnya dan tidur sejenak di bawah naungannya. Ia sangat menyukai pohon apel tersebut dan pohon apel itu juga sangat senang bermain dengannya.
Waktu terus berlalu dan kini anak laki-laki tadi telah tumbuh menjadi seorang remaja dan ia tidak lagi bermain di bawah pohon apel. Suatu hari, anak laki-laki itu datang kembali kepada pohon apel dengan wajah sedih. “Datang dan bermainlah denganku” kata pohon apel.
“Aku bukan anak kecil lagi, aku tidak mungkin bermain denganmu. Aku ingin alat musik yang bagus dan aku butuh uang untuk membelinya,” Jawab anak laki-laki tersebut.
“Maaf, aku tidak punya uang, tapi kau dapat menarik semua buahku dan kau dapat menjualnya. Dengan demikian, kau akan mendapatkan uang untuk membeli alat musik yang kau inginkan.”
Dengan senang hati, anak laki-laki itu menarik semua buah apel yang ada lalu pergi. Lama ia tak kembali, sehingga pohon apel sangat sedih.
Suatu hari, anak laki-laki yang kini sudah dewasa itu kembali, dan pohon apel sangat senang. “Datang dan bermainlah denganku,” kata pohon apel.
“Aku tidak punya waktu untuk bermain. Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk berteduh. Dapatkah engkau menolongku?”
“Maaf, aku tidak punya rumah, tapi kau dapat memotong cabang-cabangku dan membangun sebuah rumah.”
Anak laki-laki itu pun memotong cabang-cabang apel dan pergi meninggalkannya. Pohon apel sangat senang melihat anak laki-laki itu bahagia, tetapi laki-laki itu lama tak kembali, sehingga pohon apel sedih dan kesepian.
Pada suatu musim panas, laki-laki itu kembali lagi kepada pohon apel dan pohon apel menyambutnya dengan gembira. “Datang dan bermainlah denganku.” kata pohon apel.
“Aku sedih dan sudah tua. Aku ingin berlayar untuk membuat diriku santai. Dapatkah engkau memberiku perahu?” kata laki-laki itu.
“Pakailah batangku untuk membuat perahu layar, kau dapat berlayar kemanapun engkau mau, dan nikmatilah kebahagiaan.”
Laki-laki itupun memotong batang pohon apel tersebut untuk membuat perahu layar. Setelah itu ia pergi berlayar dan lama tak kembali. Dalam beberapa tahun baru ia kembali lagi.
“Maaf, aku tidak punya apa-apa lagi untukmu, tidak ada lagi batangku yang dapat kau panjat,” kata pohon apel.
“Sekarang aku pun terlalu tua untuk memanjat pohon,” kata laki-laki itu.
“Aku sungguh-sungguh tidak bisa memberimu sesuatu. Satu-satunya yang tersisa hanyalah akarku yang sudah mengering,” kata pohon apel dengan air mata berlinang.
“Aku tidak lagi memerlukan banyak hal, selain tempat untuk beristirahat. Aku lelah menjalani tahun-tahun hidupku,” jawab laki-laki itu.
“Baiklah. Akar ku yang kering ini adalah tempat yang sangat baik untuk membaringkan tubuh dan beristirahat. Mendekatlah dan beristirahatlah.”
Laki-lak itu mendekat dan pohon apel tersenyum bahagia sambil berlinang air mata.
Kisah yang cukup menarik, namun ini adalah gambaran kisah hidup kita masing-masing. Pohon apel adalah gambaran orang tua kita. Ketika kita masih anak-anak, kita suka bermain-main dengan mereka. Setelah tumbuh dewasa, kita meninggalkan mereka … dan hanya datang kepada mereka ketika membutuhkan sesuatu atau ketika kita dalam masalah. Apapun yang terjadi, orang tua akan selalu “berada” disisi kita dan memberikan apa saja yang dapat mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Kita bisa menganggap bahwa anak laki-lak itu sangat keterlaluan terhadap pohon apel, tetapi pada kenyataannya, banyak diantara kita yang berlaku demikian. Sebab itu, kasihi dan hormatilah orang tuamu.
“Kasihilah orang tuamu karena mereka layak untuk mendapatkan hal itu dari anaknya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar