09 Januari 2009

Ada Dimana SURGA DAN NERAKA itu?

“anal jannatu wa nara katannalr al anna”, sering digunakan oleh Syekh Siti Jenar dalam menjelaskan hakikat surga dan neraka. Penulisan yg benar nampaknya adalah “inna al-janatu wa al-naru qath’un ‘an al-ana” (Sesungguhnya keberadaan surga dan neraka itu telah nyata adanya sejak sekarang atau di dunia ini).
Sesungguhnya, menurut ajaran Islam pun, surga dan neraka itu tidaklah kekal. Yang menganggap kekal surga dan neraka itu adalah kalangan awam. Sesungguhnya mereka berdua wajib rusak dan binasa.
Bagi Syekh Siti Jenar, surga atau neraka bukanlah tempat tertentu untuk memberikan pembalasan baik dan buruknya manusia. Surga neraka adalah perasaan roh di dunia, sebagai akibat dari keadaan dirinya yg belum dapat menyatu-tunggal dgn Allah. Sebab bagi manusia yg sudah memiliki ilmu kasampurnan, jelas bahwa ketika mengalami kematian dan melalui pintunya, ia kembali kepada Hidup Yang Agung, hidup yang tan kena kinaya ngapa (hidup sempurna abadi sebagai Sang Hidup). Yaitu sebagai puncak cita-cita dan tujuan manusia.
Jadi, karena surga dan neraka itu ternyata juga makhluk, maka surga dan neraka tidaklah kekal, dan juga bukanlah tempat kembalinya manusia yang sesungguhnya. Sebab tidak mungkin makhluk akan kembali kepada makhluk, kecuali karena keadaan yang belum sempurna hidupnya. Oleh al-Qur’an sudah ditegaskan bahwa tempat kembalinya manusia hanya Allah, yang tidak lain adalah proses kemanunggalan ……ilaihi raji’un, ilaihi al-mashir………

--------------
Dalam pandangan KS. Kali jaga atau MKG
Surga dan neraka dianggap sebagai klilip, debu atau pasir yang ada dimata.. Bisa mengganggu jalan spiritual untuk menuju pada Allah.
Bagi MKG Motifasi untuk berjumpa dengan tuhannya jauh lebih besar dari iming-iming Surga dan Neraka.

" Tuggal Sira klawan Allah, uga donya uga akir, ya rumangsa pangeran, ya Allah ana nireki "
" Engkau menyatu dengan Allah baik di dunia maupun diakherat, engkau harus merasa bahwa Allah ada dalam dirimu "

Kadang saya merasa lucu kalau ada orang beramal/Ibadah dengan mengharapkan surga jika seperti lagunya Dewa gimana.. "jika surga den neraka tak pernah ada.." he he..

Bagi MKG berjumpa dengan sang Pencipta di akhirat itulah Surga yang sejati baginya.

Mohon maaf bila ada kesalahan..

--------------
Surga dan neraka…

Satu lagi pandangan para pecinta mengenai ini.
Surga dan neraka jadi bisa dikatakan sebagai kondisi kejiwaan/ perasaan yang dialami oleh Ruh bahkan pada saat didunia ini.

Jaman sekarang ini yang kita lihat apa bukan neraka??? anak bunuh bapak, pacar bunuh pacar, yang kaya mentereng diatas bangunan mewah – tetangganya makan sehari aja belom tentu kecukupan….
Begitu pula pada kondisi dimana orang masing2 merasa benar sendiri walaupun dia hafal puluhan kitab suci, setelah merasa benar sendiri (bukankah iblis terusir karena ia merasa lebih benar/agung dari Adam) maka mereka menghalalkan darah orang yang “menurut dia salah”….
Ruh kita pasti dapat merasakan pedihnya neraka yang nyata seperti ini..
Namun seperti mas Gen13th bilang, jalannya masing2, ada yang memperoleh pencerahan / pensucian dari pensaksian dan ujian akan penderitaan hidup tersebut (seperti Nabi Ayub, Sidarta Gautama, dsb). Jadi api neraka yang nyata ini fungsinya sebagai pencuci / penggodok bagi bangkitnya kesadaran Ruhani. Seperti emas yang di garang agar menjadi emas murni…..
Namun adapula bagi orang2 yang terikat dengan duniawi ini seperti cintanya pada harta , anak , tahta, istri2nya… dan juga kecintaan pada tubuhnya sendiri. Pada kondisi dimana ia mati dan tubuhnya berangkat membusuk sedangkan Mind/Jiwa-nya tak dapat melepaskan dari kecintaan terhadap dunianya dan juga dari kesadaran Ragawi semata. Ini pula dapat dikatakan sebagai neraka siksa kubur, yaitu Jiwa/pikiran yang terperangkap dalam tubuh yang membusuk, sedangkan semasa hidupnya ia tidak pernah melatih kesadaran Ruhaninya/ Jiwanya untuk melepaskan diri dari keterikatan terhadap tubuhnya dan dunia ini dan tidak pernah mencari jalan untuk kembali kepada Rumah sejatinya yaitu bersama Allah Ta’ala.

Sedangkan surga ialah kondisi kejiwaan yang dialami oleh Ruh dimana kita dapat membebaskan diri dari keterbatasan kita pada alam duniawi ini (bukannya berarti bunuh diri mati ya) , dari segala keterbatasan2 yang mengikat diri pada materi… Surga seperti kondisi kejiwaan yang berada dalam keadaan Qana’ah/ Puas/ Senantiasa merasa Berkecukupan walaupun dari segi materi / duniawi belum tentu…
Bukankah orang2 yang merasa puas dan berkecukupan seperti ini adalah orang yang paling kaya? Mereka sudah tidak butuh apa2 lagi selain butuh belaian Kasih Allah. Sehingga dengan merasa puas / Qana’ah tersebut mereka juga senantiasa menebarkan kasihnya melalui pemberian materi ataupun perbuatan2 bijak kepada mereka yang membutuhkannya.
Inilah keadaan damainya Hati sebagaimana keindahan taman yang di aliri oleh sungai2 Rahmat dan Rizki (Madu/susu)…

“Urip mung mampir ngombe,” tegas nenek saya. Hidup itu cuma bersinggah untuk minum.
Mari sini, teman-teman yang baik, mari sini. Sembari mengukur jalan ini, membuang kembali ingatan ke masa kecil, yang kata orang, masa paling indah. Ingatkah ruang itu, ketika kita menyusuri kebun tebu dan melempari danau bersama kawan-kawan sebaya, tanpa tuntutan, tanpa prasyarat? Dan jejak-jejak gairah itu, luka itu, rasanya baru kemarin, bukankah demikian?
Dan sungguh, waktu meluncur begitu cepat. Hal-hal yang tak terbayangkan di masa kecil, kini kita hadapi. Maka sampailah kita di sini, para penyusur jalanan dan gedung-gedung kota yang suram. Pergi pagi pulang petang. Lalu untuk apa? Mengisi lambung yang hanya seukuran setengah bantal ini? Menunggu maut?



CHAPTER 1
Bersama Tuhan
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul, kami menjadi saksi”. (QS [7]:172)

Tentang apakah ayat ini berkisah? Siapakah itu jiwa-jiwa keturunan Adam, yang berhadap-hadapan dengan Allah Yang Maha Tinggi itu, teguh bersaksi tiada ragu “Betul, kami menjadi saksi”?
Kita, teman-teman yang baik. Itu kita. Saya, anda, masing-masing, semuanya! Jiwa yang ada di sana itu, adalah juga yang ada di sini. Sosok yang bercakap-cakap dengan Sang Raja Diraja Semesta Raya itu, adalah juga sosok yang ini. Bukan siapa-siapa, bukan para tokoh di dongeng dan kisah pahlawan, tapi kita.
Kita adalah saksi tentang keesaan Tuhan, bukankah demikian? Kita lah, makhluk mulia yang diciptakan dengan sebaik-baiknya ini, yang akan angkat suara atas segala keraguan tentang keberadaan Tuhan. Karena bukankah kita telah melihat Dia, teman-teman yang baik? Berbicara dengan-Nya? Kita lah yang paham benar, kita yang tahu. Siapapun itu: presiden dan tukang cukur, guru dan para murid, sarjana dan kaum awam, laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin, tak satu pun terkecuali. Kita berasal dari sana, kita semua bersaksi, dan akan dituntut tentang persaksian itu.
… agar di hari kiamat engkau tak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.” (QS [7]:172)
Akan tetapi, lihatlah diri ini kini. Ingatkah kita tentang semua kejadian itu? Ingatkah kita akan sosok “wajah” yang kepada-Nya kita menghadap dahulu?
Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa kepada kejadiannya… (QS [36]:78)
Kebanyakan kita, tak sedikit pun mampu mengingatnya. Mengapa? Coba kita teruskan, barang sebentar.
CHAPTER 2
Di Dalam Rahim
Di rahim ibu, lumbung kokoh nan penuh kasih sayang, sebuah “kendaraan” pun hati-hati disiapkan, ditumbuhkan dari segumpal tanah.
Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya. (QS [71]:17)
Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. (QS [39]:6)
Empat bulan lamanya (atau 120 hari, atau 3 kali 40 hari) adalah usia janin ketika terjadi apa yang di dunia kedokteran disebut sebagai quickening, ketika sang ibu mulai merasakan gerak-gerik yang kuat di rahimnya, ketika seluruh bagian tubuh mengalami perkembangan cepat — yang oleh sebagian tafsir disebut sebagai saat ketika jiwa dan ruh mulai ditiupkan.

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh-Nya… (QS [32]:9)
Dia-lah yang menciptakan kamu dari turaab, kemudian dari nuthfah, sesudah itu dari ‘alaqah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak… (QS [40]:67)
Jiwa anak-anak adalah jiwa yang bersih nan suci, begitu kata Rasulullah s.a.w.
Lihatlah bayi-bayi itu, teman-teman yang baik. Mereka tersenyum kepada setiap orang, walau tetap sensitif pada setiap bersitan niat buruk yang hadir, bukankah begitu? Mereka bercakap-cakap dengan hewan dan tumbuhan, bahkan bercanda memandang ke arah sesuatu yang kita tak mampu melihatnya. Mereka menyentuh sana dan sini, memasukkan apa saja ke mulutnya, belajar tentang dunia barunya, dunia yang asing yang kini musti dijalani, bumi beserta seluruh penghuninya, juga tubuh — kendaraan barunya ini, yang memungkinkannya merambah belantara, samudra dan angkasa, di sini.
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menjadi abdi-Ku. (QS [51]:56)
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” (QS [2]:30)
Dan babak baru pun dimulai…
CHAPTER 3
Dunia, Tempat Persinggahan
Tubuh, kata Al-Ghazali, adalah kendaraan bagi jiwa, kendaraan kita. Tubuh dengan kepala dan kaki, tangan dan punggung yang kita sentuh ini, adalah bak kereta kuda bagi kita kusirnya, sang pengendali kuda. Namun semenjak hari pertama itu pun, kita menumbuhkan “aku” yang lain, egoisme, dan melakukan apa saja demi keakuan yang baru ini. Kita bercermin, dan menyangka bayangan itulah diri kita. Kita mengambil foto dan meyakinkan semua orang, lihatlah diriku, betapa ayu dan gagah sungguh.
Teman-teman yang baik, adakah sama, kusir dengan keretanya? Adakah sama, “aku” dengan “tubuhku”? Pernahkah kita bertanya, di manakah diri kita yang sebenarnya, kini? Di manakah kita yang dulu berhadap-hadapan dengan Sang Penguasa Semesta? Kapan terakhir kita sanggup melihat-Nya?
Dan keserakahan, hawa nafsu, syahwat pun kian mewabah. Sang bayi yang telah tumbuh besar itu pun kini tak lagi mudah tersenyum pada orang-orang, atau berbicara pada pohon dan kupu-kupu. Kita jadi mudah marah, dan merasa diri telah bersikap tegas. Kita mengurangi timbangan pelanggan dan karyawan, dan merasa diri telah melakukan hal yang cerdik. Kita pergi haji, dan merasa lengkaplah sudah satu set kapling di dunia dan villa di surga. Padahal kepada Tuhan dan kisah para nabi, diam-diam kita menepisnya “Dongengan jaman dulu! Berbicara dengan Tuhan? Ah, hari gini?”, sembari mengangkat cawan selamat hari raya, demi koneksi dan relasi.
… seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. (QS [59]:19)
Teman-teman yang baik, jiwa ini telah lumpuh! Digerogoti oleh prahara dosa, nafsu dan amarah. Lumpuh, dalam arti sebenarnya, pingsan dan tak sadarkan diri, tak bisa bangkit, terpuruk!

Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS [91]:10)
Maka siapakah kini yang tengah berjalan-jalan ini?
Teman-teman yang baik, kereta kuda itu telah melalang buana tanpa kendali, pergi kemanapun yang disuka: kepada harta, kekuasaan, dan senggama. Terbangun di pagi hari, sampai terkulai di malam hari, tubuh kita menjalankan berbagai hal, tanpa tahu untuk apa semua itu.
Mari pikirkan baik-baik persaksian itu. Adakah tubuh ini turut bersaksi di sana?
Tentu tidak! Tubuh terbentuk di dalam rahim, dan tak tahu menahu tentang persaksian yang kita alami. Tubuh tak punya “acara” di bumi ini, selain sebagai kendaraan bagi jiwa, bagi kita. Tubuh tak peduli soal kita yang musti menjadi abdi-Nya, yang musti menjadi wakil-Nya, khalifah-Nya di muka bumi. Teman-teman yang baik, kita lah yang merekam peristiwa persaksian itu, tubuh tak ingat apa-apa. Hati yang bersih yang akan sanggup mengingatnya, otak tak tahu apa-apa. Tubuh tak ada di sana! Namun bila bahkan jiwa dan hati ini tak mengingat apapun… wahai, tidakkah itu berarti jiwa ini tengah sekarat, teman-teman yang baik?
Tanpa sang kusir, bukankah tubuh akan bak kereta kuda yang pergi kemana pun yang disuka, melakukan apapun yang dimauinya?
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya… Mereka itu tak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya. (QS [25]:43-44)
Dan hal ini pun berlangsung, sampai senja menyadarkan kita… tatkala jiwa dilepaskan, dicabut dari tubuhnya, maka kita akan paham. Kita akan tahu, teman-teman yang baik, kita akan melihat semuanya!
Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam. (QS [50]:22)
dan CHAPTER 4, 5…
Dan chapter 4 adalah sebuah perjalanan di alam yang berbeda, alam barzakh. Sebuah kehidupan yang jauh lebih panjang, jauuuuhh lebih lama dari yang kita jalani di dunia sekarang ini. Sebuah masa yang berawal ketika jiwa dan ruh “dicabut” dari tubuh, ketika tubuh menyelesaikan tugasnya dan kembali ke tanah dan kita (jiwa) meneruskan perjalanannya, dan berakhir tatkala sangkakala mulai ditiup, yang menandai awal dari qiyamah ketika semesta raya ditutup dan seluruh makhluk dikumpulkan di sebuah padang, Chapter akhir dari kehidupan.
Maka, bila kita (jiwa ini) dalam keadaan lumpuh, bagaimana kita akan melanjutkan perjalanan yang jauh nan panjang nanti?
Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan. (QS [17]:72)
Teman-teman yang baik, kita masing-masing di sini, di tempat persinggahan ini, ditugaskan untuk mengambil sesuatu, dan kita diberi fasilitas yang berbeda-beda.
Tiap-tiap diri dimudahkan sesuai dengan untuk apa ia diciptakan. (Rasulullah SAW — HR Bukhari)
Dan Al Quran adalah sebuah peta rahasia, yang menceritakan tentang seluruh alam ini, kehidupan ini, apa yang akan dihadapi, dan bagaimana melewatinya dengan baik, dari awal sampai akhir, bukankah begitu? Al Quran pada dasarnya berkisah tentang diri kita, ketika berbicara tentang orang-orang kafir dan para pencinta dunia. Al Quran menunjuk diri kita, ketika berbicara tentang penyembah berhala yang menuhankan hawa nafsunya. Al Quran tidak menunjuk siapa-siapa, ketika berkisah tentang Bani Israil. Kita, teman-teman yang baik. Kita yang ditunjuk.
* * * *
Semoga sebuah kehendak yang sungguh-sungguh untuk kembali… barangkali itu sebuah awal yang baik.
Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (QS [7]:23)
Allah menarik orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada-Nya orang yang kembali. (QS [42]:13)
Kembali, teman-teman yang baik. Dan jika kita kembali berjalan menuju-Nya, Dia akan berlari menjemput. Itu pasti. Insya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar