13 Agustus 2014


Simple,.. but It's Fun

26 Februari 2014

Mengenal Tokoh Wayang "BASUKARNA"

BASUKARNA, yang lebih terkenal dengan
sebutan Adipati Karna adalah lawan utama Arjuna
dalam Baratayuda. Padahal kedua ksatria itu sama-sama
putra Dewi Kunti. Basukarna adalah putra
sulung, sedangkan Arjuna anak yang ketiga.

Dalam dunia pewayangan Basukarna merupakan
profil tokoh wayang yang otodidak, berjuang sendiri
tanpa mengandalkan bantuan keluarga. Ia juga
menjadi perlambang bagi karakter manusia yang tahu
membalas budi, sekaligus rela berkorban bagi menangnya
kebenaran, walaupun untuk itu ia harus
mengorbankan jiwa dan bahkan juga nama baiknya.
Foto kanan:

Basukarna adalah anak buangan.
Ibunya adalah Dewi Kunti alias Dewi
Prita, putri bungsu raja Mandura, Prabu
Basukunti. Waktu masih berusia remaja,
Dewi Kunti mencoba-coba menggunakan
Aji Adityarhedaya, yakni ilmu untuk
mendatangkan seorang dewa yang
dikehendakinya. Ilmu dipelajarinya
dari gurunya, Resi Druwasa, yang sengaja
didatangkan Prabu Basukunti ke
Keraton Mandura untuk mendidik Dewi
Kunti.Ternyata ilmu ajaran Resi Druwasa
itu benar-benar ampuh. Dengan membaca
mantra Aji Adityarhedaya, Dewi
Prita alias Kunti berhasil mendatangkan
Batara Surya. Tetapi kedatangan Batara
Surya yang tampan itu membuat Dewi Kunti
mengandung, padahal ia masih gadis.
Setelah Prabu Kuntiboja mengetahui perihal
musibah yang menimpa putrinya, ia amat marah dan
segera memanggil Resi Druwasa. Guru Besar itu dipersalahkan
telah mengajarkan ilmu tingkat tinggi
pada gadis yang belum dewasa. Resi Druwasa mengaku
bersalah dan bersedia menjamin keperawanan
Dewi Kunti. Tetapi pertapa itu juga menjelaskan,
CATATAN KAKI =***) Dewi Prita mempunyai kebiasaan
buruk, sering bangun siang. Manakala hari telah terang,
dan matahari sudah naik, ia masih tergolek di tempat
tidurnya. Sinar terang matahari yang masuk ke kamarnya
membuatnya kagum. Tanpa sadar ia mengamalkan Aji
Adityarhedaya sambil membayangkan ketampanan
Batara Surya.
bahwa kelak Dewi Kunti akan memerlukan ilmu itu.
Dengan ilmunya yang tinggi, sesudah masa
kehamilannya cukup, Druwasa mengeluarkan jabang
bayi yang dikandung melalui telinga Dewi Kunti.
Alasannya, ilmu itu masuk dan diresapi oleh Kunti
melalui telinganya. Itulah sebabnya, ia diberi nama
Karna — yang artinya telinga. Nama lain baginya
adalah Talingasmara. Dalam pewayangan ia juga
disebut Suryaputra, atau Suryatmaja, karena anak
Kunti itu memang benar hasil pertemuan ibunya
dengan Batara Surya. Dua nama yang terakhir ini
digunakan oleh sebagian besar dalang untuk menyebut
Karna sewaktu masih muda.
Setelah lahir, Prabu Basukunti segera memerintahkan
agar bayi itu dibuang. Maka, bayi Karna
pun ditaruh dalam sebuah peti dan dihanyutkan di
Sungai Gangga. Sebelum bayinya dibuang Dewi Prita
BASUKARNA
244 ENSIKLOPEDI WAYANG INDONESIA
alias Kunti sempat memperhatikan, di telinga bayi itu
terdapat Anting Mustika yang memancarkan sinar
kemilau.
Bayi yang malang itu kemudian ditemukan dan
dirawat dengan baik oleh Adirata, seorang sais kereta
kerajaan di Keraton Astina. Yang memerintah Astina
saat itu adalah Prabu Krisna Dwipayana. Bayi itu lalu
diaku anak dan dipelihara dengan penuh kasih sayang
oleh Adirata dan istrinya yang bernama Nyai Nanda
(Dalam Mahabarata Nyai Nanda disebut Radha. Itulah
sebabnya, Basukarna juga disebut Radhea atau Aradea).
Kebetulan mereka memang tidak punya anak.
Tahun berganti tahun, dan takhta Astina diduduki
oleh Prabu Pandu Dewanata, menggantikan Prabu
Krisna Dwipayana yang mengundurkan diri karena
hendak menjadi pertapa. Ketika Prabu Pandu meninggal
dalam usia muda, Drestarastra menggantikannya
untuk sementara waktu, sebagai wali para
Pandawa yang saat itu masih kecil-kecil.
Menjelang masa remaja, Basukarna sering ikut
ayah angkatnya ke Keraton Astina. Di sana ia selalu
mengintip dan mencuri dengar dengan penuh perhatian
segala yang diajarkan oleh Resi Krepa dan
Begawan Drona kepada murid-muridnya, yaitu para
Kurawa dan para Pandawa. Dengan demikian segala
sesuatu yang diajarkan oleh kedua mahaguru itu
diketahui dan dipahami dengan baik oleh Karna.
Minat dan semangat Basukarna untuk belajar
amat tinggi. Suatu hari ia memberanikan diri menjumpai
Begawan Drona dan minta agar guru besar
itu mau menerima dirinya sebagai murid. Namun
permohonan itu ditolak, karena Drona terikat aturan
istana: hanya boleh mengajar para pangeran, yakni
putra-putra Drestarastra, Pandu, dan Yama Widura.
Resi Krepa, guru besar lainnya juga bersikap sama
dengan Begawan Drona. Dengan penolakan itu
Basukarna tetap hanya bisa belajar dengan cara mengintip
dan mencuri dengar.
Untuk mengetahui sampai di mana tingkat
kemajuan ilmu dan keterampilan para Pandawa dan
Kurawa, secara berkala Begawan Drona dan Resi
BASUKARNA
BASUKARNA, Wayang Kulit Purwa gagrak Cirebon.
Koleksi Drs. Sulaeman Pringgodigdo --- Foto: Pandita.
SURYAPUTRA, sebutan Basukarna di masa muda, dalam
pewayangan. Gambar grafis Wayang Kulit Purwa gagrak
Surakarta.
Sunyoto B. Suseno - Sanggar Sedayu
ENSIKLOPEDI WAYANG INDONESIA 245
Krepa mengadakan uji keterampilan bagi mereka.
Pada acara ujian seperti itu ternyata Pandawa selalu
unggul. Lebih-lebih Arjuna. Pada setiap pertandingan
ksatria remaja yang tampan ini selalu mendapat
angka tertinggi. Keunggulan ini membuat Arjuna lalu
bersikap sombong.
Basukarna yang sejak semula menyaksikan acara
itu, merasa panas hati melihat kesombongan dan
keangkuhan Arjuna. Walaupun ayah angkatnya telah
berusaha mencegah, dengan nekad Karna lalu menantang
Arjuna untuk adu tanding dalam ketrampilan
keprajuritan dengan dirinya. Tantangan Karna ini
ditolak Arjuna, karena sebagai seorang putra raja
Arjuna merasa dirinya tidak pantas melayani tantangan
Karna yang hanya anak seorang sais kereta.
Tantangan Karna itu memang mengejutkan semua
orang, termasuk para Kurawa. Duryudana, si Sulung
dalam keluarga Kurawa segera memanfaatkan peristiwa
itu. Dengan pengaruh yang dimilikinya
selaku putra Prabu Drestarastra, saat itu juga
Duryudana mengangkat Basukarna sebagai
adipati di Kadipaten Awangga. ***)
Dengan kedudukan Karna sebagai seorang
adipati, tidak ada lagi alasan bagi Arjuna untuk
menolak tantangan itu. Adu tanding pun dimulai.
Dan ternyata keduanya sama kuat dan sama
mahirnya. Resi Krepa dan Begawan Drona
akhirnya memberikan penilaian tidak ada yang
kalah dan tak ada yang menang. Keduanya
seimbang sama kuat.
Dewi Kunti yang menyaksikan acara pertandingan
itu, saat itu sudah yakin benar bahwa
Karna sesungguhnya adalah anak sulungnya,
yang belasan tahun sebelumnya dihanyutkan
di sungai. Selain wajahnya yang amat mirip
dengan Arjuna, gerak-gerik Karna boleh
dibilang sama dengan Ksatria Panengah Pandawa
itu. Lagi pula. dari telinga Karna
memancar sinar kemilau Anting Mustika yang
telah menempel sejak dilahirkan. Namun untuk
segera mengakuinya sebagai anak, Dewi Kunti
merasa tidak menemukan alasan yang tepat.
Dewi Kunti tercekam oleh perasaan antara
yakin dan ragu. Yakin, karena baik raut wajah
maupun bentuk tubuh Karna seolah bayangan
Arjuna, dan Anting Mustika itu pernah
dilihatnya belasan tahun yang lalu. Namun
Kunti juga ragu, apakah jika ia tiba-tiba mengakui
Karna sebagai anak akan membuat situasi menjadi
baik, ataukah sebaliknya.
Selain berguru secara tidak langsung pada Begawan
Drona dan Resi Krepa yakni hanya dengan
mendengar dan melihat dari kejauhan, Karna sempat
pula berguru pada seorang brahmana sakti bernama
Rama Parasu alias Rama Bargawa. Ini dilakukan
setelah permohonan Karna untuk diterima menjadi
murid resmi Begawan Drona dan Resi Krepa,
ditolak.
CATATAN KAKI = ***) Menurut pewayangan, Karna
menjadi Adipati di Awangga bukan karena hadiah atau
diangkat oleh Duryudana, tetapi karena hasil usahanya
sendiri. Karna memperoleh negeri itu setelah mengalahkan
Prabu Karnamandra, yaitu raja penguasa di
Awangga.
BASUKARNA
Bambang Harsrinuksmo
BASUKARNA, gambar grafis bergaya buku komik wayang,
berdasarkan penampilan di panggung Wayang Orang gaya
Surakarta.
246 ENSIKLOPEDI WAYANG INDONESIA
Untuk dapat berguru pada brahmana yang kesaktiannya
tidak tertandingi siapa pun di dunia ini, Karna
harus menyamar sebagai brahmana. Penyamaran itu
terpaksa dilakukan karena Rama Bargawa amat membenci
golongan ksatria. Dari gurunya yang ini Basukarna
antara lain mendapat ilmu Bramastra, yakni ilmu
ketrampilan memanah. ***)
Sesudah mewariskan berbagai ilmunya, barulah
Rama Bargawa sadar bahwa Karna sebenarnya bukan
dari golongan brahmana, melainkan seorang ksatria.
Penyamaran Basukarna ini terbongkar manakala
Rama Bargawa tidur berbantal paha muridnya. Saat
itu seekor ketonggeng, sejenis kalajengking berbisa,
menyengat paha Basukarna. Namun untuk menjaga
jangan sampai gurunya terbangun, dengan sekuat
tenaga Karna menahan rasa sakit yang alang kepalang
itu, sehingga keringatnya bercucuran. Rama Bargawa
justru terbangun ketika peluh Karna menetes ke
wajahnya. Sewaktu tahu apa yang terjadi, sadarlah
Sang Guru bahwa muridnya itu tentu berasal dari
golongan ksatria. Hanya seorang ksatria yang tangguh
sanggup menahan rasa sakit yang demikian hebat.
Karena merasa ditipu, dengan marah Rama Bargawa
mengucapkan kutukannya: - Kelak dalam Baratayuda,
pada saat yang genting - yang menentukan
hidup atau mati, Karna akan lupa bunyi mantera ilmu
Bramastra. Dan, kelak ternyata, kutukan itu akan
terbukti.
Basukarna menikah dengan Dewi Surtikanti, putri
Prabu Salya, raja Mandraka. Pernikahan ini sebenarnya
tidak disetujui oleh Prabu Salya, yang telah
merencanakan akan menikahkan Surtikanti dengan
Duryudana. Saat itu Duryudana sudah berkedudukan
sebagai Prabu Anom, atau raja muda. Oleh sebab itu
Karna diam-diam lalu sering masuk ke Istana Mandraka
dan secara sembunyi-sembunyi memadu kasih
dengan sang Dewi, bahkan kemudian melarikan Dewi
Surtikanti, sehingga mereka terpaksa dinikahkan.
Sejak itu timbullah kebencian Prabu Salya terhadap
Karna, walaupun telah menjadi menantunya.
Prabu Anom Duryudana sendiri sebenarnya amat
sakit hati pada tindakan Karna melarikan Dewi
Surtikanti, justru pada saat raja muda Astina itu sedang
menyiapkan lamarannya pada Prabu Salya. Namun
CATATAN KAKI = ***) Sebagian dalang menyebut ilmu
itu Aji Kunta Bramasta.
karena keluarga Kurawa sangat memerlukan tenaga
Basukarna, terutama pada saat menghadapi Baratayuda
kelak, masalah Dewi Surtikanti itu tidak diperpanjang
lagi. Apalagi kemudian Prabu Salya menjanjikan akan
menikahkan Duryudana dengan Dewi Banowati, adik
Surtikanti.
Karena perkawinannya dengan Dewi Surtikanti
itu, Karna mempunyai dua orang raja besar sebagai
ipar, yakni Prabu Anom Duryudana, dan Prabu Baladewa
yang sebelumnya telah menikahi Dewi Erawati,
putri sulung Prabu Salya.
Adipati Awangga itu memiliki sifat pantang
berkhianat, tahu membalas budi, percaya diri, teguh
dalam pendirian, dan membenci orang yang terlalu
mengagung-agungkan kebangsawanannya. Karena
selalu diperlakukan dengan baik dan dihargai oleh
Kurawa, Adipati Karna merasa berhutang budi pada
Duryudana dan adik-adiknya. Itu pula yang menyebabkan
ada sebagian pecinta wayang menggolongkan
Basukarna sebagai tokoh yang berpihak pada
kejahatan dan mabuk akan derajat serta kedudukan.
Selain seimbang kesaktiannya, penampilan dan
wajah Basukarna amat mirip dengan Arjuna. Itulah
BASUKARNA
DEWI SURTIKANTI, istri Basukarna yang bunuh diri ketika
mendengar berita bahwa suaminya gugur dalam
Baratayuda.
Sunyoto B. Suseno - Sanggar Sedayu
ENSIKLOPEDI WAYANG INDONESIA 247
sebabnya Batara Narada pernah keliru menganggap
Arjuna tatkala akan memberikan senjata Kunta
Wijayandanu. Senjata pusaka pemberian dewa itu
seharusnya diberikan kepada Arjuna untuk memotong
tali pusar Gatotkaca yang baru lahir. Dalam perjalanannya
mencari Arjuna, Batara Narada yang secara
kebetulan berjumpa dengan Basukarna, salah lihat,
mengira bertemu Arjuna dan memberikan senjata
Kunta Wijayandanu pada Karna. ***) Arjuna
kemudian berusaha merebut kembali senjata pusaka
itu, tetapi gagal. Yang berhasil direbut hanyalah warangkanya
(sarung) saja.
Dalam pewayangan, kisah mengenai senjata Kunta
ini diceritakan dalam lakon Lahirnya Gatotkaca.
CATATAN KAKI = ***)Dalang ternama, Ki Nartasabda,
dalam lakon Banjaran Karna menceritakan bahwa Batara
Surya yang tahu rencana perjalanan Batara Narada
memberitahu Karna agar mencegat dewa itu, dan
mengaku sebagai Arjuna. Jadi, perjumpaan Karna dengan
Narada bukan suatu kebetulan.
Meskipun sebelumnya telah tahu, tetapi baru
tiga hari sebelum pecah Baratayuda, Basukarna yakin
benar bahwa ia sesungguhnya adalah putra sulung
Dewi Kunti. Berarti ia adalah saudara tua yang seibu
dengan Yudistira, Bima, dan Arjuna. Yang meyakinkan
adalah penjelasan yang diberikan oleh ayahnya
sendiri, yaitu Batara Surya. Waktu itu Batara Surya
datang menjumpainya dan menceritakan siapa sebenarnya
Basukarna sesungguhnya. Batara Surya juga
memperingatkan agar Karna waspada, sebab Batara
Endra, ayah Arjuna akan datang menemuinya dan
membujuknya dengan berbagai cara guna melemahkan
Karna. “Ingatlah Karna, dari aku sejak lahir
engkau telah kuwarisi Anting Mustika dan Kotang Kerei
Kaswargan. Anting Mustika berkhasiat akan
mengingatkan engkau bilamana ada bahaya mengancam,
sedangkan dengan Kotang Kerei Kaswargan
engkau akan kebal terhadap senjata apa pun. Jangan
sampai kedua pusaka itu lepas dari tanganmu, siapa
pun yang memintanya.”
Ketika itu Basukarna menjawab: “Ayahanda, ...
itu tergantung pada siapa yang memintanya. Jika
seorang brahmana datang meminta, sebagai seorang
ksatria tentu pantang bagi hamba untuk menolaknya,
walaupun yang diminta itu langsung menyangkut
keamanan jiwa hamba ...”
Apa yang diperingatkan oleh Batara Surya memang
terjadi. Esok harinya, dua hari menjelang
Baratayuda berlangsung Batara Endra datang menjumpainya
dalam ujud seorang brahmana tua. Seperti
yang diduga oleh Batara Surya, saat itu brahmana tua
yang sebenarnya penjelmaan Batara Endra meminta
Anting Mustika dan Kotang Kerei Kaswargan. Tanpa
menanyakan, apa alasan brahmana itu memintanya,
dengan hati teguh dan ikhlas Karna menjawab:
“Bilamana Bapa Brahmana memang menginginkan,
ambillah. Namun hamba tidak memiliki kemampuan
melepaskan kedua pusaka pemberian Ayahanda
Batara Surya ini dari tubuh hamba. Hanya seorang
dewa saja yang akan sanggup melepaskannya ...”
Brahmana tua itu menjawab: “Jangan khawatir,
ksatria mulia. Hamba sendiri yang akan melepaskannya.”
Karena brahmana itu memang penjelmaan dewa,
dengan mudah ia melepaskan kedua pusaka andalan
Basukarna. Namun, pada saat itu sebenarnya hati kecil
Endra terharu dan heran menyaksikan ketulusan hati
BASUKARNA
BASUKARNA, wayang yang digunakan untuk lakon
Baratayuda, karya Ki Bambang Suwarno.
Koleksi Sanggar Ciptoning --- Foto Pandita.
248 ENSIKLOPEDI WAYANG INDONESIA
Karna. Rasa simpati itu menyebabkan Batara Endra —
yang masih dalam ujud brahmana, berkata: “Karna,
engkau sungguh seorang ksatria sejati yang berbudi
luhur. Sudah sepantasnya jika ksatria agung seperti
Tuanku memiliki senjata pamungkas yang ampuh.
Karenanya, sebagai ganti barang yang hamba ambil,
terimalah pemberian hamba berupa anak panah
Wijayacapa.”
Basukarna: “Hamba telah menyerahkan dengan
ikhlas kedua barang yang Bapa Brahmana minta.
Bilamana Bapa Brahmana juga memberikan senjata
pamungkas itu dengan ikhlas, dengan senang hati
hamba akan menerimanya.”
Demikianlah, hari itu Karna kehilangan dua
pusaka yang merupakan perisai dirinya, tetapi
mendapat pusaka pengganti sebuah senjata pamungkas.
Sehari menjelang Baratayuda, beberapa saat
setelah Prabu Kresna sebagai duta yang gagal kemudian
dikroyok para Kurawa sehingga terpaksa melakukan
triwikrama, terjadi peristiwa sebagai berikut:
Sebelum pulang ke Kerajaan Wirata untuk melaporkan
hasil perundingannya pada pihak Pandawa,
Kresna secara khusus datang menemui Karna. Pada
pertemuan empat mata, raja Dwarawati itu berusaha
membujuk Karna agar bersedia menyeberang ke pihak
Pandawa. Saat itulah terjadi perdebatan dan adu
pendapat di antara mereka.
Karna menolak bujukan itu dengan alasan, bahwa
sebagai ksatria sudah selayaknya ia harus tahu membalas
budi. Kurawa telah memberikan kemuliaan
duniawi dan derajat kepangkatan kepadanya. Kini,
tibalah saatnya bagi Karna untuk membalas budi baik
para Kurawa.
Kresna: “Dinda Karna, Baratayuda yang akan dimulai
esok hari, bukan perang kecil. Perang itu merupakan
pertarungan antara pihak yang benar dengan
pihak yang salah. Antara kebaikan dan keadilan melawan
keserakahan kebatilan. Jadi, dalam hal ini soal
balas budi bukanlah hal yang mutlak harus dilakukan,
karena membela kebenaran bagi seorang ksatria lebih
mutlak harus dilaksanakan.”
Karna: “Kakanda Kresna, sebagai seorang titisan
Wisnu mestinya kakanda maklum, jika Adinda
berpihak pada para Kurawa dan berperang melawan
adik-adikku para Pandawa, bukan berarti Adinda
berpihak pada keangkaramurkaan. Adinda berperang
di pihak mereka semata-mata hanya menjalani darma
ksatria, membalas kebaikan dengan kebaikan pula. Itu
adalah kewajiban Adinda.
Jika Adinda harus berperang melawan adik-adik
para Pandawa, bukan berarti Adinda berperang melawan
kebaikan dan kebenaran, melainkan juga hanya
karena menjalani darma ksatria. Soal kalah atau
menang bagi Adinda bukan lagi merupakan hal yang
penting. Yang penting, sebagai ksatria Adinda harus
menjalankan kewajiban sebagai prajurit menghadapi
lawannya.”
Kresna: “Tetapi, Dinda Karna. Dengan adanya
Adinda di pihak Kurawa, tentu akan menyulitkan para
Pandawa untuk memenangkan Baratayuda.”
Karna: “Kakanda Kresna. Adinda tahu benar,
adik-adikku para Pandawa bukan ksatria yang takut
dan enggan menghadapi kesulitan.”
Kresna: “Saya memahami hal itu. Namun, jika
Adinda Karna mau menyeberang ke pihak Pandawa,
tentu Kurawa tidak akan meneruskan niatnya menempuh
jalan perang, sehingga Baratayuda dapat
dicegah.”
BASUKARNA
Sunyoto B. Suseno - Sanggar Sedayu
BASUKARNA, gambar grafis Wayang Kulit Purwa
gagrak Surakarta.
ENSIKLOPEDI WAYANG INDONESIA 249
Karna: “Justru Adinda yang sebenarnya sangat
menginginkan Baratayuda segera terjadi.”
Kresna: “Mengapa? Peperangan akan selalu
membawa penderitaan bagi banyak orang. Bilamana
Adinda Karna dapat mencegahnya, mengapa itu tidak
Adinda lakukan? Apa alasannya?”
Karna: “Kakanda Kresna yang bijaksana, ...
Adinda telah mengenal para Kurawa, satu persatu
secara pribadi sejak mereka masih kecil, sejak masih
remaja. Adinda mengenal benar tabiat dan watak
mereka, pendirian mereka. Adinda tahu benar akan
keserakahan mereka, sifat iri, culas, dan dengki mereka.
Rasanya, mereka memang dilahirkan sebagai manusia-
manusia pembawa sifat buruk yang tidak lagi
dapat diperbaiki. Bahkan Maharesi Bisma, Kakek
Abiyasa, Begawan Drona, Resi Krepa, yang tinggi
wibawanya pun tidak sanggup memperbaiki sifat-sifat
buruk mereka.
Tidak satu pun saran dan nasihat baik dari para
pini sepuh Astina yang mereka dengar. Mereka hanya
mengikuti hasutan jahat dari Paman Sengkuni dan
Ibunda Dewi Gendari.
Kakanda Kresna, Adinda berpendapat tidak ada
cara lain untuk memberantas keangkaramurkaan dan
kebatilan yang telah belasan tahun terjadi di Astina,
kecuali dengan meniadakan keberadaan mereka di
dunia ini. Itulah sebabnya, bagaimana pun, Baratayuda
harus segera terjadi. Saya berketetapan hati
untuk memihak Kurawa, saya sengaja membakarbakar
semangat Adinda Duryudana, saya bujuk mereka
agar jangan takut berperang, ... itu semua agar Baratayuda
dapat segera terjadi sebagaimana seharusnya.”
Kresna: “Adinda Karna. Kakanda benar-benar
menaruh hormat akan pendirian Adinda yang teguh
itu. Namun dengan adanya Dinda Basukarna di pihak
Kurawa, bagaimana pun, Baratayuda tentu akan
berlangsung lebih lama dan korban di kedua pihak
akan lebih banyak. Tidakkah hal ini Dinda pertimbangkan?”
Karna: “Adinda memahami hal itu. Namun, bukankah
jer basuki mawa beya? Kakanda Prabu Kresna
tentu sudah faham benar, Baratayuda adalah peristiwa
yang menjadi sarana untuk memusnahkan segala yang
jahat dan yang angkara. Untuk mencapai masyarakat
dunia yang tenteram dan damai, selalu harus ada yang
menjadi korban, dan selalu harus ada yang dikorbankan.
Itu sudah merupakan hukum alam yang
berlaku pada zaman apa pun.
Adinda tahu, bahwa menurut takdir pada Baratayuda
nanti Adinda harus berhadapan dengan
Arjuna. Entah siapa yang akan kalah, dan siapa yang
akan unggul, kita semua belum tahu. Seandainya
Adinda yang gugur, maka Adinda ikhlas sebab pengorbanan
Adinda adalah untuk kemenangan adikadik
para Pandawa dan itu berarti pengorbanan Adinda
adalah untuk tegaknya kebenaran dan keadilan.
Demikian pula, seandainya Adinda yang menang,
Arjuna pun sebagai ksatria harus ikhlas karena
pengorbanannya tentu tidak sia-sia.”
Kresna: “Adinda Karna, cobalah Adinda renungkan
sekali lagi. Pengorbanan Adinda Karna dengan
pengorbanan Adinda Arjuna, jelas berbeda. Jika
Adinda Basukarna gugur dalam Baratayuda nanti,
sejarah akan mencatat Adinda Karna gugur karena
berperang di pihak yang salah. Adinda Basukarna
tewas karena membela pihak angkara. Sedangkan jika
Dinda Arjuna yang gugur, maka ia akan dianggap sebagai
pahlawan pembela keberaran.
Coba renungkan hal itu.”
Karna: “Itu pun Adinda pahami. Namun, bukankah
sebagai ksatria kita tidak boleh memperhitungkan
untung rugi dalam menjalankan darmanya? Adinda
berperang di pihak Kurawa karena menjalankan
darma Adinda sebagai ksatria. Hamba tidak peduli lagi
tentang bagaimana sejarah akan mencatat nama
Adinda. Biarlah sejarah mencatat Adinda sebagai
pembela nafsu angkara pihak Kurawa. Biarlah nama
baik Adinda hancur karena sikap Adinda dalam
menjalankan darma. Karena nama baik itu pun telah
Dinda ikhlaskan sebagai pengorbanan demi tegaknya
kebenaran dan keadilan ..”
Prabu Kresna tidak bisa berkata-kata lagi. Dengan
penuh haru dipeluknya putra sulung Kunti itu eraterat.
“Semoga Yang Maha Mengetahui selalu memberikan
berkah kepadamu, Dinda Basukarna ...” kata
titisan Wisnu itu.
Setelah pertemuannya dengan Prabu Kresna,
lewat tengah hari, Adipati Karna pergi ke Sungai
Gangga hendak mensucikan dirinya. Hati kecilnya
merasa, ia akan gugur dalam perang besar antarkeluarga
Barata itu. Karenanya, sebelum menghadap
pada Sang Pencipta, anak pungut Sais Adirata itu ingin
lebih dahulu mensucikan tubuhnya.
Di tepi sungai yang dianggap suci itu, secara
kebetulan Karna bertemu dengan Dewi Kunti yang
juga baru saja selesai mensucikan tubuhnya. Sekali
BASUKARNA
250 ENSIKLOPEDI WAYANG INDONESIA
lagi, sebagaimana perjumpaanya dengan Prabu Kresna,
kali ini Dewi Kunti juga berusaha membujuk Adipati
Karna agar mau menyeberang ke pihak Pandawa.
“Basukarna anakku, ... sebenar-benarnyalah
bahwa engkau itu anak sulungku. Para dewa dapat
menjadi saksi. Hanya karena keadaan, engkau
terpaksa berpisah dengan adik-adikmu para Pandawa.
Hanya karena keadaan yang membuatmu terpaksa
bergabung dengan pihak Kurawa.
Namun, perang besar akan terjadi esok hari. Aku,
ibumu ini, sangat berharap engkau tidak berdiri di
pihak yang berlawanan dengan adik-adikmu.
Bergabunglah engkau bersama kelima adikmu. Jika
harapanku ini engkau kabulkan, berarti engkau
membahagiakan wanita yang pernah melahirkanmu.”
Dengan penuh hormat Karna menjawab: “Ibunda
Dewi Kunti yang amat hamba hormati. Hamba mengerti,
keadaan telah membuat hamba terpaksa
berpisah dengan adik-adik hamba. Hamba juga
mengerti bahwa karena keadaan pula hamba sekarang
berdiri di pihak Kurawa yang merupakan lawan para
Pandawa, adik-adik hamba.
Namun, bukankah kita tidak dapat hanya menyalahkan
keadaan? Bilamana Ibunda Dewi Kunti
mengharapkan agar hamba menyeberang ke pihak
Pandawa dan meninggalkan Kurawa, maka itu berarti
hamba menyalahi darma hamba sebagai seorang
ksatria. Hamba akan menjadi pengkhianat bagi
Kurawa yang selama ini telah memberikan derajat dan
kemuliaan pada hamba. Hamba akan menjadi manusia
yang tidak tahu membalas budi, yang membalas
kebaikan orang dengan pengkhianatan. Baratayuda
yang akan dimulai esok hari, bukan alasan bagi hamba
untuk mengecewakan harapan para Kurawa yang
mengandalkan kekuatan hamba ...”
Kunti: “Karna, Anakku. Ibunda mengerti, engkau
adalah prajurit sejati. Engkau seorang ksatria utama.
Namun, cobalah engkau renungkan barang sejenak.
Selain harus menjalani darmamu sebagai seorang
ksatria, engkau pun mempunyai kewajiban menjalankan
darmamu sebagai seorang putra terhadap
ibumu. Tidak adakah keinginanmu untuk membahagiakan
wanita yang telah melahirkanmu?”
Karna: “Ibunda Dewi Kunti, junjungan hamba.
Tentu saja hamba ingin membahagiakan Ibunda Dewi.
Hamba ingin agar Ibunda Kunti dapat merasakan
kebahagiaan serta bangga, bilamana hamba dapat
menjalankan darma hamba sebagai seorang ksatria.”
Kunti: “Tetapi ..., Karna Anakku. Engkau tentu
juga tahu, dalam Baratayuda nanti besar kemungkinan
engkau akan berhadapan dengan adikmu, Arjuna.
Tidak bisa tidak, salah satu dari kalian berdua akan menjadi
korban kekejaman perang besar itu. Dapatkah
engkau membayangkan, betapa remuknya hati seorang
ibu, manakala ia tahu dua orang putranya saling berhadapan
di medan perang dengan tekad akan saling
membunuh? Dapatkah kau bayangkan itu, anakku?”
Kunti tidak lagi dapat menahan air matanya.
Basukarna pun terharu mendengar kata-kata yang
diucapkan oleh wanita yang dulu melahirkannya itu.
Namun, dengan menguatkan hati, Basukarna berkata
dengan lembut: “Ibunda Dewi Kunti yang hamba
hormati. Hamba yang hina ini memahami benar
kepedihan hati Ibunda Dewi. Namun hamba mohon,
.... anggaplah kepedihan itu sebagai pengorbanan
Ibunda untuk ketentraman dan kedamaian masyarakat
banyak. Ibunda tentu juga tahu, bahwa Baratayuda
BASUKARNA
BATARA SURYA, ayah Basukarna yang sebenarnya.
Menjelang Baratayuda Batara Surya memperingatkan pada
anaknya akan bahaya yang mengancam. Gambar grafis
Wayang Kulit Purwa gagrak Surakarta.
Hadi Sulaskam - Sanggar Sedayu.
ENSIKLOPEDI WAYANG INDONESIA 251
adalah salah satu sarana dan jalan untuk membebaskan
dunia dari keangkaramurkaan yang selama ini dilakukan
oleh para Kurawa. Semua orang yang melangkah pada
jalan darmanya harus ikut berkorban demi ketentraman
dunia. Ada yang ditakdirkan harus mengorbankan
jiwanya, ada yang harus mengorbankan suaminya,
mengorbankan orang yang disayanginya, dan ...
tentunya tidak terkecuali Ibunda Dewi.
Bilamana ternyata dalam Baratayuda nanti Adinda
Arjuna yang terpaksa menjadi korban, maka ia akan
gugur sebagai pahlawan. Ibunda Dewi dapat membanggakannya,
walaupun tentu dalam kesedihan seorang
ibu yang kehilangan putra. Demikian pula,
bilamana hamba yang tewas dalam perang tanding
itu, Ibunda Dewi pun boleh merasa bangga karena
hamba tewas dalam menjalankan darma hamba sebagai
seorang prajurit, sebagai ksatria. Jika hamba gugur,
maka hamba bukan mati sebagai pengkhianat”
Kunti merasa, tidak akan ada manfaatnya ia
membujuk Karna lebih lanjut. Sekarang ibu para
Pandawa itu tahu benar keteguhan hati anak sulungnya
itu. Karena itu, Kunti lalu berkata: “Anakku,
Karna. Aku tidak lagi dapat merangkai kata-kata. Kesedihanku
sebagai seorang ibu, membuat tenggorokanku
serasa tersumbuat. Tetapi, ... kumohon
kepadamu, izinkan aku memelukmu, anakku. Puluhan
tahun, sejak engkau masih berujud bayi merah, aku
telah kehilangan engkau. Aku tidak berkesempatan
merawat, memelihara dan mengasihimu. Untuk itu,
maafkanlah Ibumu ini. Biarlah aku memelukmu
barang sejenak, anakku ....”
Dengan air mata bercucuran Dewi Kunti memeluk
anak sulungnya, menciumi ubun-ubunnya, sambil
berkata terisak di sela tangisnya: “Restuku untukmu,
anakku. Doaku untukmu, buah hatiku ....”
Pertimbangan Karna dalam mengambil keputusan
itu adalah, karena sebagai ksatria ia harus tahu
membalas budi kepada Kurawa yang sudah memberinya
kedudukan, kemuliaan, derajat dan pangkat.
Tanpa bantuan Suyudana dan keluarga Kurawa
lainnya, ia akan tetap dikenal sebagai anak sais kereta
Adirata.
Pertimbangan yang lain adalah, jika ia tidak ikut
beperang, mungkin Baratayuda akan gagal, batal,
tidak terlaksana, karena bisa jadi Duryudana akan
memilih jalan damai. Dan, jika ini terjadi berarti
kesewenangan di dunia akan tetap berjalan terus.
Sikap Basukarna yang siap untuk mati dalam perang
juga dibuktikan ketika ia menolak tawaran
bantuan Naga Ardawalika yang diam-diam akan ikut
menyerang Arjuna. Walaupun tawaran bantuannya
ditolak, ketika tahu bahwa Adipati Karna gugur,
Ardawalika atas inisiatifnya sendiri langsung menyerang
Arjuna, tetapi ksatria Pandawa itu pun
berhasil membunuhnya.
Dalam Baratayuda, Basukarna sebagai panglima
perang di pihak Kurawa, pada hari ke-15 berhasil
membunuh Gatotkaca dengan senjata Kunta Wijayandanu.
Penggunaan senjata pamungkas ini sebenarnya
sama sekali di luar rencananya. Sejak ia
menerima Kunta dari tangan Batara Narada, ia merencanakan
penggunaan senjata sakti yang hanya dapat
sekali digunakan itu untuk menghadapi Arjuna. Hati
kecil Basukarna memang menaruh dendam pada
Arjuna sejak ksatria Pandawa itu menghinanya di
hadapan umum dengan menolak mengadu
ketrampilan dengannya.
Namun sewaktu Gatotkaca memporakporandakan
barisan prajurit Kurawa dan membunuh
beberapa adik Duryudana, penguasa Astina itu mulai
khawatir. Di tengah pertempuran Duryudana mencari
Basukarna dan memintanya untuk menghadapi
Gatotkaca. Semula Adipati Karna menolak karena ia
sedang mencari-cari Arjuna. Duryudana lalu mengingatkan,
bahwa perang ini bukan perang pribadi. Ia
minta agar Basukarna melupakan dulu dendam
pribadinya, dan lebih memikirkan kemenangan bagi
seluruh Kurawa.
Karena desakan Duryudana ini, Basukarna terpaksa
menghadapi Gatotkaca. Putra Bima itu memang
berhasil dikalahkannya, namun dengan demikian ia
kehilangan Kunta Wijayandanu.
Waktu berperang tanding melawan Arjuna,
Basukarna sudah tidak lagi memiliki senjata andalan.
Supaya dirinya sederajat dengan Arjuna, ia minta agar
mertuanya Prabu Salya bersedia menjadi saisnya.
Alasannya, kereta perang Arjuna dikemudikan Sri
Kresna, raja Dwarawati. Agar seimbang dan tampak
sederajat, kereta perangnya juga harus dikendalikan
seorang raja, dan menurut anggapannya, yang paling
tepat adalah Prabu Salya. Permintaan ini amat
menyakitkan hati Prabu Salya dan serta merta raja
Mandraka itu mendampratnya, dan mengatakannya
sebagai menantu yang tidak tahu diri. Duryudana
dengan cepat melerai, kemudian membujuk Prabu
Salya. Hanya karena bujukan Duryudana, akhirnya
Salya mau menuruti permintaan Basukarna. Peristiwa
BASUKARNA
252 ENSIKLOPEDI WAYANG INDONESIA
itu menambah kebencian raja Mandraka itu pada
menantunya itu.
Di medan perang Karna menggunakan kereta
perang bernama Jaladra, sedangkan kereta perang
Arjuna bernama Jatisura. Kedua kereta perang yang
berisi dua ksatria utama itu seolah menjadi
primadona pertempuran. Pada suatu kesempatan
Basukarna melepaskan panah pusakanya
Wijayacapa, dibidikkan tepat ke leher Arjuna.
Namun, pada saat yang tepat Prabu Salya menarik
tali kekang kuda, sehingga kereta perang yang
dikendarainya tergoncang. Panah Wijayacapa
meluncur deras, tetapi bidikannya tidak tepat lagi.
Panah sakti itu hanya menyambar mahkota gelung
rambut Arjuna. Sesaat berikutnya Arjuna melepaskan
anak panah pusaka Pasopati dan tepat
menebas leher Basukarna. ***)
Karna yang berperang dengan sepenuh hati
akhirnya gugur sebagai ksatria utama dalam Baratayuda,
sebagaimana dikehendakinya. Ia telah mendarmabaktikan
jiwanya pada Kerajaan Astina yang
telah mengangkat derajatnya dari kedudukan anak
sais menjadi seorang adipati. Ia juga telah merelakan
jiwanya untuk membahagiakan Dewi Kunti, ibu
kandung yang tidak pernah menyusui, mengasuh, dan
mengasihinya. Karena jika bukan dia yang gugur,
maka Arjunalah yang harus tewas dalam perang
tanding itu. Dan, bila ini terjadi tentu akan membuat
ibunya lebih berduka.
Sementara itu, ketika tubuh Karna roboh ke bumi,
keris Kyai Jalak Kaladite yang disandangnya lepas dari
warangkanya (sarung keris) dan melayang, melesat
ke arah dada Arjuna. Tetapi Arjuna yang selalu waspada
segera menangkis serangan keris itu dengan gendewa
pusakanya.
Basukarna, seorang anak yang terbuang sejak
bayi, seorang anak pungut sais kereta bernama Adi-
CATATAN KAKI = ***) Menurut salah satu versi Mahabarata
di India, Basukarna gugur karena siasat licik
Kresna. Waktu itu salah satu roda kereta perang Karna
terperosok ke dalam lumpur. Karna lalu melepaskan
seluruh senjatanya, turun dari kereta, kemudian mencoba
mendorong kereta itu untuk membebaskan roda kereta
yang terbenam di lumpur. Pada saat itu Kresna memberi
isyarat, agar Arjuna melepaskan anak panahnya. Jadi,
Karna terpanah dalam keadaan tidak bersenjata; sesuatu
yang sebenarnya terlarang dalam Baratayuda.
rata, gugur dalam keyakinan untuk menjalankan
darmanya sebagai ksatria utama.
Dari perkawinannya dengan Dewi Surtikanti, putri
Prabu Salya, Basukarna mendapat dua orang putra,
yaitu Warsasena dan Warsakusuma. Kelak
Warsakusuma kawin dengan Dewi Lesmanawati, putri
Prabu Anom Duryudana. Dengan demikian, hubungan
Basukarna dengan Duryudana, selain sebagai
ipar, ia juga merupakan besan.
Dewi Surtikanti meninggal karena bunuh diri.
Pada saat Baratayuda berlangsung, ia selalu mengikuti
berita dari medan perang yang disampaikan oleh Patih
Adimanggala, yakni patih Kadipaten Awangga. Suatu
hari, patih Kadipaten Awangga itu menyampaikan berita
yang tidak jelas, sehingga Dewi Surtikanti salah
mengerti. Ia mengira suaminya gugur di palagan Baratayuda.
Tanpa pikir panjang Surtikanti bunuh diri
dengan mencabut patrem (keris kecil) lalu menusukkannya
ke dadanya sendiri.
Kematian Dewi Surtikanti membuat Adipati
Karna amat marah. Ia mempersalahkan Adimanggala.
Tanpa banyak bicara Karna segera membunuh Patih
BASUKARNA
RAMA BARGAWA alias Rama Parasu, yang memecat
Basukarna sebagai muridnya, karena diketahui menyamar
dan berpura-pura sebagai brahmana. Wayang Golek
Purwa Sunda.
Koleksi Tjetjep Supriadi --- Foto: BK Harisantoso.
ENSIKLOPEDI WAYANG INDONESIA 253
Adimanggala. Tetapi versi lain menyebutkan, Patih
Adimanggala gugur bersama (sampyuh - Bhs. Jawa)
ketika ia bertempur melawan Patih Udawa, abang satu
ibu lain ayah.
Perkawinan Basukarna alias Basusena dengan
Dewi Surtikanti sebenarnya dapat berlangsung dengan
bantuan Arjuna.
Kisahnya begini:
Suatu ketika Keraton Mandraka geger karena
Dewi Surtikanti dilarikan oleh seorang ksatria muda
yang tampan. Mulanya ksatria itu memasuki keputren
dan berasyik-masyuk dengan Dewi Surikanti. Ketika
mereka dipergoki para dayang istana dan terjadi keributan,
ksatria itu segera lari membawa sang Dewi.
Para prajurit yang berusaha menghalanginya, tidak
sanggup menghadapi kesaktian ksatria tampan itu.
Kejadian ini membuat marah Prabu Salya dan
Prabu Anom Duryudana, karena sebenarnya Dewi
Surtikanti akan dikawinkan dengan raja muda Astina
itu. Dari keterangan para dayang, yang menyebut
bahwa pria yang melarikan sang Putri itu sangat
tampan, Prabu Salya dan Duryudana langsung menuduh
Permadi (nama panggilan Arjuna selagi muda)
sebagai pelakunya. Permadi mencoba membantah,
namun tidak seorang pun yang percaya.
Resi Bisma lalu mengambil kebijaksanaan: Permadi
harus mencari pelaku penculikan atas Dewi Surtikanti
dalam waktu tiga hari. Bila dalam waktu itu Permadi
tidak berhasil, maka ia akan dijatuhi hukuman sebagai
si Penculik. Permadi sanggup.
Dalam waktu singkat, Permadi menemukan Dewi
Surtikanti di Istana Awangga. Karenanya, ksatria
Pandawa itu minta agar Basukarna menurut dibawa
ke Mandraka sebagai tertuduh. Karna menolak, dan
terjadilah perang tanding. Adu ketrampilan dan
kesaktian di antara keduanya begitu seru sehingga
kahyangan goncang karenanya. Batara Narada lalu
Lakon-lakon Yang Melibatkan Basukarna
Pandadaran Siswa Sokalima
Bale Sigala-gala
Suryatmaja - Surtikanti
Brantalaras Rabi
Banjaran Karna
Salya Gugur
Bisma Gugur
Karna Tanding
turun ke dunia untuk melihat apa yang menjadi
penyebabnya. Setelah tahu apa yang terjadi, dewa itu
segera melerainya. Narada menjelaskan bahwa sebenarnya
keduanya bersaudara. Diterangkan, Karna
sebenarnya adalah putra sulung Dewi Kunti yang ketika
masih bayi dibuang ke Sungai Gangga dan ditemukan
oleh Adirata. Sedangkan Permadi adalah anak Kunti
yang keempat.
Dengan penjelasan itu mereka pun berdamai.
Basukarna bersedia membawa kembali Dewi Surtikanti
ke Mandraka, karena Permadi menyanggupi
akan memintakan maaf pada Prabu Salya, sekaligus
membujuknya agar Karna diterima sebagai menantu.
Usaha Permadi ini berhasil. Basukarna diakui oleh
Prabu Salya sebagai menantu, walaupun hati kecilnya
masih tetap tak menyukai Karna, yang dianggapnya
telah memberikan malu kepadanya.
Sedangkan Duryudana yang amat kecewa karena
gagal kawin, terpaksa menerima kenyataan itu. Lagi
pula, Duryudana juga berusaha tetap memelihara
persahabatannya dengan Karna, yang diharapkan
bantuannya pada saat pecah Baratayuda kelak.
Dalam pewayangan di Indonesia, mengenai peran
Basukarna dalam memantik api perang Baratayuda
ada dua versi.
Sebagian dalang menceritakan bahwa Basukarna
sengaja menyulut api perang dengan maksud agar
angkara murka keluarga Kurawa cepat hancur punah
dengan terjadinya perang besar itu. Ia tahu benar kekuatan
Kurawa dan sekutunya tidak akan sanggup
menandingi para Pandawa, namun ia membesarbesarkan
hati dan membakar semangat Prabu Anom
Duryudana, sehingga penguasa Astina itu memilih
jalan peperangan daripada perdamaian. Guna menyirnakan
angkara murka, ia sanggup mengorbankan
jiwanya, dan bahkan juga nama baiknya.
Sebagian dalang yang lain menyebutkan, sikap
Basukarna menyulut api peperangan disebabkan
karena dendamnya pada para Pandawa, terutama pada
Arjuna yang dinilainya angkuh.
Gambaran tentang pribadi Basukarna dalam pewayangan
pada umumnya memang sedikit lebih baik
dibandingkan dengan yang tergambar dalam Kitab
Mahabarata. Dalam Mahabarata, selain dendam pada
Arjuna, Adipati Awangga itu juga sangat membenci
Dewi Drupadi.

12 Februari 2014

Rok Mini



Soal rok mini ini memang menggelitik. Saya sendiri di dalam dilemma yang besar. Alasannya pertama karena saya laki-laki. Kedua karena saya belum pernah memakai rok mini. Sebagai orang berpendidikan saya khawatir perspektif saya terhadap rok mini ini menjadi sangat subyektif, di penuhi asumsi dan ngawur. Tetapi saya selalu ingin mengajukan pertanyaan kepada setiap pengguna rok mini atau celana super pendek di area public demi mendapat sudut pandang yang obyektif dari si pemakai agar saya tidak salah sangka:

  1. Mbak-mbak, boleh tahu apakah dengan rok mini yang mbak pakai itu, saya atau kami boleh menikmati paha mbak?
  2. Kalau boleh, apakah mbak memang sengaja agar kami melihatnya? Atau malah risih kalau kami melihatnya?
  3. Tolong jelaskan kepada kami, bagaimana seharusnya kami boleh menikmati paha mbaknya agar, mbak merasa nyaman dan kita bisa sama-sama menikmati, agar saya merasa aman dalam menikmati dan mbaknya nikmat jug adi lihati?

Pertanyaan ini sebenarnya penting untuk ditanyakan sebagai dasar ilmiah untuk mengambil kesimpulan, tapi belumkesampaian saya tanyakan sampai saat ini. Malu nanyanya. Dan saya memilih untuk menikmati rok minitersebut dengan diam-diam, dengan “etika” yang saya karang sendiri agar tidak berdampak social yang buruk. Ada yang bilang ini soal iman, kalau iman kuat, rok mini lewat. Saya kira setiap orang beriman yang jujur kalau ditanya pasti menjawab akan timbul pikiran bukan-bukan ketika menjumpai perempuan muda berpaha indah memakai rok mini atau celana pendek sekali di tempat umum.

Tidak usah jauh-jauh, saya sendiri akan mengaku beriman, sholat, kadang-kadang juga ngaji, tapir ok mini is rok mini, daya tariknya sungguh sering melewati daya tangkal iman. Kalau ada yang bilang “Pikiran situ aja yang jorok”, duh,.. ingin sekali saya jawab “Saya sudah susah payah membersihkan pikiran dari yang nggak-nggak, tapi situ lewat sambil menjorok-jorokkan paha, memaksa untuk dilihat.

Soal hak, semua orang orang sebenarnya punya hak masing-masing, selama masih berada di tempatnya hak menjadi sesuatu yang aman bagi dirinya maupun orang lain. Jika memakai rok mini atau hot pants di rumah  rok mini akan menjadi sangat asyik, aman dan nyaman buat semuanya. Apalagi di kamar, tidak memakai rok pun akan semakin menambah suasana jadi lebih sesuatu banget. Dan semua orang akan merasa happy dan di jamin aman.

Tapi di boncengan sepeda motor, di busway, di jalanan,.. duuuhhh,… please mbak, bu, sekedar saya yang lihat dijamin aman, karena nafsu dan pikiran saya akan saya manage sedemikian rupa sehingga akan hanya meledak tanpa melukai anda.Tapi kalau yang nafsunya meledak itu lelaki yang sedang sakit parah jiwanya dan tidak tahu tempat? Pemerkosa adalah orang yang jiwanya sedang sakit. Dan kata orang tua, mencegah lebih mudah dan murah dari pada mengobati. Mengobati mereka Tetap harus dilakukan karena bisa membahayakan orang lain, berapapun biaya material dan social yang dibutuhkan, termasuk kita member makan mereka di penjara seumur hidup. Tapi sambil mengobati, akan lebih cerdas, mudah, dan murah kalau kita semua juga ikut mencegah, salah satunya dengan tidak menggunakan rok mini di tempat umum.

Masih banyak pilihan busana yang lain, yang menarik (tanpa menggoda) dan pantas. Cara ini pasti lebih murahsebelum ada yang menjadi korban lelaki sakit jiwa. Kecuali kalau memang rok mini telah menjadi sumber penghasilan pengenanya. Mbak-mbak, ibu-ibu, sebagai lelaki saya selalu mengagumi perempuan. Dalam teori saya, perempuan itu setiap inchi kulitnya adalah fashion. Karena itu benang dililit-lilit pun ke seberapa bagian tubuh, sudah menjadi keindahan yang menyeluruh.

Perempuan juga sangat ekspresif. Mereka suka bicara, suka berdandan, suka “menunjukkan” keindahan dirinya itu memang kodratnya. Dan sedikit ini komentar lelaki. Kami-kami ini juga sangat ekspresif. Tapi berbeda  caranya dengan perempuan. Kami tidak terlalu suka bicara, berdandan, menunjukkan keindahan diri sendiri. Tapi langsung bertindak sebagian yang lain, ekspresinya malah tidak terlihat sama sekali. Tetapi sesuatu di balik celananyalah yang langsung bereaksi.

10 Juli 2013

Jadi pengin Jualan Nasi kucing

Bermula dari ajakan temen yang ngajakin "wedangan" di warung lesehan nasi kucing di sekitar singosaren solo. saat itu selepas maghrib, aku dan temanku meluncur dengan sepeda motor bututku ke singosaren hanya untuk bersosialisasi ala anak2 ndeso di solo. "Wdangan" atau "angkringan"

Segelas jahe anget dan beberapa macam gorengan, menemani obrolan kami yang mulai ngalor ngidul di petang itu. Pandangan kami tertuju kepada 3 orang cewek berpostur tinggi semampai dengan dandanan agak "aneh" untuk daerah kota solo. karena mereka memakai pakaian terusan dengan rok span sekitar 5 centi di atas lutut, stocking sewarna kulit, dengan dandanan yang lumayan menor,.. (hehehe)

Mereka ternyata juga sedang "kelaparan" (kaleee..). Merekapun memesan minuman dan beberapa makanan kecil yang selanjutnya duduk di samping kami duduk dengan selonjor santai,.. Jujur sebagai lelaki seneng banget aku, mendapat pemandangan seperti itu,

Dan tak kalah terperanjatnya aku, mereka malah dengan santainya menyalakan rokok *mild (weeeww).. nikmatnya... kok terlintas dalam benakku, alangkah senangnya ya bisa mempunyai warung angkringan di sini, kalau setiap hari dapet pengunjung kayak gini

Jadi pesan tersuratnya adalah "apapun makanannya, tetep berasa makan paha"

21 Maret 2013

Menjual Kemasan, bukan isi



Suatu siang di sebuah citywalk di kota solo, saya sedang duduk santai bersama 3 teman saya sambil menikmai hangatnya the manis pesanan saya. Ramai sekali suasana siang itu, namun begitu nyaman karena ponon2 besar menaungi dan melindungi semua dari teriknya matahari solo di siang itu. 

Seorang mbak-mbak menghampiri saya. Oooh rupanya mau menawarkan produk nya. Teman saya yang 1 sepertinya antusias banget, tapi sepertinya bukan sama produknya, tapi lebih sama mbak mbak nya. Kira kira beginilah percakapan yang terjadi


  • SPG    : Selamat siang mas, Permisi,.. kami dari PT ********* mempunyai sebuah produk inovatif terbaru
  • S1       : Apaan tuh mbak produk nya?
  • SPG    : ini mas kami punya kacamata cuaca terbaru, sangat mudah di gunakan, efektif untuk siapa saja,       pengendara motor, pejalan kaki, dan siapapun juga
  • S1       : Bagaimana cara kerjanya mbak bisa di katakan kacamata cuaca begitu?
  • SPG    : Oh gampang mas,…. Mas pakai saja seperti biasa, Nah seperti ini, kacamata ini mengandung magnet2, serta ion2 positif yang mampu di tangkap oleh mata sehingga akan direspon oleh mata untuk memantau keadaan cuaca
  • S2       : Waduuh hebat bener,… contohnya gimana mbak?
  • SPG    : Setelah kacamata ini terpakai, jika anda melihat dengan jelas, dan kacamata terasa hangat, berarti cuaca sedang cerah, jika anda melihat agak gelap dan terasa agak dingin berarti cuaca sedang mendung, jika anda melihat obyek dengan samar2 dan kacamata terasa basah berarti cuaca sedang hujan, dan jika anda tidak bisa melihat sama sekali, berarti cuaca sedang berkabut….
  • S1       : @#$%^&*&*%#
  • SPG    : gimana mas? Anda tertarik, ini murah lho, mumpung lagi promo
  • S1       : e ee  e enggak deh mbak makasiih ya?.. boleh minta no HP ya saja deh?
  • SPG    : *&^%$%^#@

Dasar, tukang usil, namun mbak nya dengan mantap melangkah untuk menawarkan produknya ke orang lain,
Yaah itulah masyarakat Indonesia Raya ku yang tercinta ini, banyak dari mereka yang hanya membeli kemasan, bukan isinya,. Jadi buat anda para pengusaha “kemaslah barang biasa dengan kemasan yang luar biasa, maka orang2 konsumtif akan membelinya”